Kehidupan abah tergolong sederhana, Di
era dimana semua guru seangkatannya telah diangkat menjadi pegawai
negeri dan mendapat tunjangan dana pensiunan. Beliau tetap menjadi guru
honorer yang bahkan untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari beliau tak
mampu. Belakangan ini beliau melawan penyakit yang dideritanya. Tubuh
tegapnya sedikit demi sedikit diusik oleh penyakitnya. Namun pribadinya
yang kuat tak pernah terkalahkan.
Aku menatap wajahnya yang sendu, siang
malam hanya do’a yang bisa ku lantunkan, meminta belas kasih Tuhan dan
keajaiban yang datang menghampiri sang guru sejati, setidaknya bagiku,
dan bagi orang-orang terdekatnya. Dalam kesunyian malam aku terbuai pada
kharismanya yang membawaku mengarungi alam bawah sadar untuk merekamnya
kembali dalam ingatan.
Matahari menyapa pagi, kutemui sosok
pahlawanku sudah siap dengan pakaian dinas kebanggaannya. Ia tersenyum
menyapaku dan ibu yang telah duduk manis di meja makan. Tempat inilah
menjadi saksi bisu, bahwa sosok didepanku selalu mengajariku makna
penting dari komunikasi, disinilah keluargaku selalu bercerita semua
aktivitasnya seharian.
“Abah, Cici ikut berangkat bareng abah ya,” gumamku.
“Kalo kau berangkat sama abah, bagaimana
dengan teman-temanmu, berjalanlah bersama, gandenglah tangan
teman-temanmu ci,” nasehatnya lembut. Aku termangu dengan ucapannya.
Lantas ia bangkit dan menyalamiku.
Dari kejauhan aku melihat punggungnya
yang makin lama menghilang dari pandanganku bersama biola dan onthel
kesayangannya. Dia telah menghilang dari pelataran rumah sebelum
matahari tersenyum sempurna.
Aku dan abah berada di sekolah yang
sama, aku sebagai murid dan abah seorang tenaga pengajar. sekolah kami
termasuk elit pada akhir abad ke 19-an, yang dikelola langsung oleh
pemerintah daerah setempat. Abah termasuk guru tetua di sekolah ini, Ia
mulai mengajar sejak genap berkepala dua. Hampir semua penduduk desa
mengenal abah sebagai sosok guru yang menyenangkan. Selain pintar
membawa suasana abah selalu menganalogikan pelajarannya dengan alunan
nada dari biola.
Namun aku tak pernah diajar olehnya,
abah selalu menghindari kelasku. Ia memberi alasan kepadaku agar tetap
profesional dan terhindar dari pandangan subjektif dari yang lain. Aku
selalu mencuri dengar abah mengajar, namun abah menegurku agar kembali
ke kelas, dan sesampainya di rumah aku dinasihatinya agar tidak
mengulangi lagi. Abah selalu mengingatkanku, “Jika mengabaikan kalimat
guru walau hanya satu detik bagaikan kehilangan mata rantai gelang
emas.”
Sepulang sekolah kutemui umi sedang
memangkas daun-daun yang rusak dimakan ulat. Rumah keluargaku tidak
besar namun terlihat asri, dipenuhi dengan bunga-bunga melati yang
tumbuh subur. Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah piano tua yang
selalu dimainkan abah sepulangnya dari sekolah. Piano tersebut ia
dapatkan setelah memenangkan sayembara cipta lagu.
Kegemarannya bermusik terus ia tekuni,
aku selalu berlari ke arahnya dan duduk disampingnya ketika tuts piano
mulai dimainkan oleh jari jemarinya yang gemulai, terkadang tanpa sadar
aku hanyut dan ikut bernyanyi dengan alunannya.
“Hidup itu seperti alunan musik, yang
harus kita dengar, rasakan, dan kita nikmati,” ungkapnya disela-sela
permainan. Aku pun hanya mengangguk dan melemparkan senyum manisku
padanya.
****
Aku tersentak dan terbangun dari
lamunanku, seketika aku melihat layar monitor elektrodiograf yang tidak
stabil, dengan semua rasa panik aku berlari mencari dokter. Tim medis
memasuki ruangan ICU, mereka melarangku untuk memasuki ruangan, dengan
berat hati aku dan suamiku menunggu di luar ruangan sambil berdo’a dan
terus memohon.
Logikaku tak utuh, rasa khawatir dan
takut menyusup ke sanubariku. Aku merasa duniaku akan berhenti, isak
tangis menyesakan jiwa, beruntung suamiku setia menemaniku dan
menenangkanku.
“Jangan khawatir, abah baik-baik saja,” ucapnya menenangkan.
Tim medis satu persatu keluar dari
ruangan, segera mungkin aku menemuinya, dengan tenang aku bertanya pada
dokter dengan memaksa, “Bagaimana dokter, bagaimana keadaan abah saya?”
Namun sang dokter hanya menggelengkan kepala dan bergumam lirih. “Maaf
Tuhan telah berkehendak lain, yang sabar bu,” ucapnya sambil berbela
sungkawa.
Seketika aku berlari memasuki ruangan,
segera aku peluk abah yang kini telah terbujur kaku, ruangan itu kini
pecah dengan suara isakan tangisku. Suamiku segera menyadarkanku, aku
lihat wajah abah, ia memberikan senyuman terakhirnya padaku. Aku bangga
menjadi bagian dari sejarahnya.
Beliau adalah sosok yang selalu
mengajarkan makna keikhlasan dan pengabdian sejati. Bahwa mengabdi
adalah memberi tanpa mengharap jasa. Dan perjalanan hidup abah
menyiratkan makna kehidupan.
Jasad abah kini siap dikebumikan, aku
dan keluarga tak pernah menyangka banyak pelayat yang datang
berbondong-bondong mengucapkan bela sungkawa. Satu lagi kejutan yang
datang menjadi bagian dari hadiah untuk abah. Semua murid abah datang
dari semua penjuru kota. Mereka berjajar rapi sambil memainkan biola,
dawai-dawai itu menyatu, menghasilkan aliran irama merdu nan syahdu.
“Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasiku, tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan,
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan,
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa.”
Lagu yang beliau ciptakan pada sayembara
“Hari Pendidikan Nasional” tahun 1980, “Hymne Guru Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa”, telah mewakili perjuangan dan pengabdiannya selama 24 tahun.
*tulisan ini hanya fiktif belaka, namun terinspirasi dari kehidupan Pak Sartono pencipta lagu “Hymne guru” asal Madiun. Penulis adalah Mahasantri Putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng semester 5 dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.
No comments:
Post a Comment