Harta Waris |
Oleh: M. A. Rohim, S.H., M.H.*
Assalamualaikum, Wr. Wb.
Kepada Yth. Bpk. Kiyai Sekalian, Ponpes Tebuireng,
Jombang – Jawa Timur
Dalam keluarga atau rumah tangga antara
Bapak S dengan Ibu K, saling membawa harta berupa sawah dan
pekarangannya, juga memperoleh harta gono-gini berupa sawah dan
pekarangan. Selama berumah tangga diberi keturunan 4 (empat) orang anak
yaitu 1 (satu) wanita dan 3 (tiga) laki-laki. Pada tahun 1975, Ibu K
(istri Bapak S) meninggal dunia.
Setelah Ibu K (istri Bapak S) meninggal
dunia. Bapak S menikah kembali dengan seorang gadis bernama Ibu N, yang
tidak membawa harta apapun juga, dan selama berumah tangga tidak
mendapatkan harta gono-gini, serta selama berumah tangga dikaruniai
keturunan 3 (tiga) orang anak, yaitu: 2 (dua) wanita dan 1 (satu)
laki-laki. Kemudian, saat ini suaminya (Bapak S) telah meninggal dunia.
Mohon penjelasan dari Yth. Bapak Kiyai
sekalian, bagaimana sistem dan cara pembagian harta warisan kepada
anak-anak, dari istri pertama dan istri kedua, sesuai dengan ketentuan
Syariat Islam. Atas penjelasan dari Yth. Bapak Kiyai sekalian,
sebelumnya saya sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Ahmad Mulyo Redjo, Bandarlampung
Waalaikumsalam Wr. Wb.
Saudara penanya yang kami hormati.
Dalam hukum Islam, tata cara pembagian harta warisan diatur dalam hukum faroidl,
yaitu hukum yang mengatur tentang orang-orang yang berhak menerima
warisan, besarnya bagian serta tata cara pembagian harta warisan
tersebut.
Sumber utama hukum faroidl adalah Al Quran, kemudian dari hadis Nabi, ijma’ serta ijtihad shohabat,
yang selanjutnya di Indonesia sumber-sumber tersebut dirumuskan dalam
sebuah aturan yang dimuat dalam sebuah kompilasi yang disebut dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991.
Hukum kewarisan sangat terkait dengan
hukum perkawinan, karena dari perkawinan akan melahirkan keturunan yang
menyebabkan pertalian nasab. Terkait pertanyaan Saudara mengenai harta
yang diperoleh dalam atau selama perkawinan, maka sesuai ketentuan Pasal
35 (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Dalam ayat 2 Pasal
tersebut disebutkan pula bahwa: Harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Dalam
kasus seperti pertanyaan yang diajukan, seorang suami yang ditinggal
mati istrinya (Bu K), kemudian suami (Pak S) kawin lagi, selagi tidak
ada perjanjian mengenai harta benda, maka dipilah dulu harta yang
diperoleh dalam perkawinan suami (Pak S) dengan istrinya (Bu K) yang
disebut dengan harta bersama. Harta bersama ini dibagi dua, separuh
menjadi bagian/hak suami, dan separuh sisanya ditambah harta asal istri
yang telah meninggal menjadi harta warisan yang harus dibagi waris
kepada suami (Pak S) beserta 4 (empat) anaknya, jika almarhumah (Bu K)
tidak mempunyai orang tua. Yang berarti suami (Pak S) memperoleh 1/4
(seperempat) bagian, sedang sisanya 3/4 (tigaperempat) bagian dibagikan
kepada 4 (empat) orang anaknya, dengan ketentuan bagian seorang anak
laki-laki adalah 2(dua) dibanding 1 (satu) dengan anak perempuan.
Setelah Pak S menikah lagi dengan Bu N
yang tidak membawa harta asal dan tidak mempunyai harta bersama, namun
dalam perkawinan dengan Pak S ini mempunyai 3 (tiga) anak (2 perempuan
dan 1 laki-laki), kemudian jika Pak S meninggal dunia tanpa ada orang
tua, maka seluruh harta warisan Pak S, baik yang berasal dari hasil
bagian warisan dari istri terdahulu maupun bagian harta bersama dari
istri terdahulu dan harta asal Pak S sendiri jika masih ada, menjadi
harta warisan yang harus dibagi waris kepada istri kedua (Bu N) dan
seluruh anak-anaknya baik dari istri pertama (4 anak) maupun dari istri
kedua (3 orang anak). Sehingga istri kedua Pak S (Bu N) mendapat 1/8
bagian sedang sisanya 7/8 bagian dibagi kepada seluruh anak Pak S baik
dari istri pertama (Bu K) maupun anak dengan istri kedua (Bu N) yang
seluruhnya berjumlah 7 (tujuh) orang anak (4 laki-laki dan 3 perempuan).
Dengan ketentuan bagian seorang anak laki-laki memperoleh bagian 2
dibanding 1 dengan seorang anak perempuan.
Demikian, semoga bermanfaat.
*Praktisi Hukum Peradilan Agama
Nb: nama sengaja publisher ubah inisial untuk menjaga privasi keluarga.
No comments:
Post a Comment