KH. Salahuddin Wahid saat menyampaikan sambutan dalam Pembukaan Seminar Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di Gedung MPR RI Jakarta, pada Sabtu (06/05/2017). (Foto: Dokumentasi panitia) |
Di dalam BPUPKI (Mei-Juni 1945),
muncullah pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman, yakni ketika
kalangan ”nasionalis Islam” mengusulkan dasar negara Islam dan kalangan
”nasionalis Pancasila” mengusulkan dasar negara Pancasila. Komprominya
ialah ”Piagam Jakarta”, yang di dalamnya terkandung dasar negara
Pancasila dengan sila pertama ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan
Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Ternyata kompromi itu masih ditolak
kalangan ”non-Islam” pada 17 Agustus 1945. Maka, para tokoh Islam dengan
lapang dada menyetujui dicoretnya anak kalimat ”dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menyetujui
rumusan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah keberhasilan awal dari upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Keberhasilan kedua upaya memadukan
keindonesiaan dan keislaman ialah ketika para ulama di bawah pimpinan KH
Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober 1945),
yang mengilhami dan mendorong para pemuda Muslim untuk bertempur melawan
tentara Sekutu pada 10 November 1945. Jihad, sebuah istilah agama,
digunakan untuk perjuangan bersifat kebangsaan.
Para tokoh Islam berhasil dalam
perjuangan mendirikan Departemen Agama pada Januari 1946. Itu adalah
keberhasilan ketiga upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman. Pada
1951, Menteri Agama KH. A Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari Partai Masyumi)
membuat nota kesepahaman tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, madrasah
tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Ini adalah keberhasilan keempat dalam
memadukan keindonesiaan dan keislaman, yang memberi tempat bagi
pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam
dalam bentuk pesantren sebenarnya sudah aktif 500 tahun sebelum Belanda
mendirikan sekolah di Hindia Belanda pada 1840, yang menjadi cikal bakal
pendidikan nasional Indonesia.
Menerima asas Pancasila
Pertentangan antara keindonesiaan dan
keislaman muncul kembali ketika partai-partai Islam (Masyumi, Partai NU,
PSII, Perti, AKUI) memperjuangkan dasar negara Islam dalam Konstituante
pada 1956-1959. Perjuangan itu gagal, karena kalah dalam pemungutan
suara.
Pertentangan antara keindonesiaan dan
keislaman berlanjut dalam Pemilu 1971, ketika partai-partai Islam
(Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berkampanye untuk memperjuangkan
dasar negara Islam. ABRI dan aparat pemerintah Orde Baru berjuang untuk
mengalahkan partai-partai Islam dengan segala cara. Kursi yang diperoleh
partai-partai Islam jauh di bawah jumlah kursi pada Pemilu 1955.
Berarti kedudukan partai-partai Islam di dalam DPR amat lemah.
Pada 1973 dilakukan pembahasan terhadap
RUU Perkawinan, yang beberapa pasal di dalamnya dianggap oleh para ulama
bertentangan dengan hukum Islam. Yang paling penting ialah Pasal 2,
yang rumusan awalnya ialah ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut UU ini”. Syuriah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH. Bisri Syansuri
(murid KH. Hasyim Asy’ari) menolak rumusan tersebut dan mengusulkan
supaya diganti menjadi ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Kalangan non-Islam tentu
saja menolak usul tersebut karena hal itu berarti menerima syariat Islam
yang partikular ke dalam sistem perundang-undangan kita. Presiden
Soeharto menyetujui usulan para ulama itu. Ini adalah keberhasilan
kelima dalam upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pemerintah pada awal 1980-an berusaha
supaya Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan ormas yang
ada di Indonesia. Menghadapi situasi seperti di atas, Syuriah PBNU
membentuk sebuah tim untuk mengkaji ”hubungan antara Islam dan
Pancasila”. Tim terdiri atas sejumlah ulama mumpuni yang dipimpin KH.
Ahmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang pernah mengaji langsung
kepada KH. Hasyim Asy’ari. Berdasar dokumen ”Hubungan Islam Pancasila”
yang disusun tim di atas, Muktamar NU 1984 di Situbondo memutuskan untuk
menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara. Langkah itu lalu
diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali beberapa ormas yang
jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1989, DPR membahas RUU Peradilan
Agama sebagai lanjutan dari UU No 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali muncul konflik antara keindonesiaan
dan keislaman sehingga terjadi perdebatan panas antara yang menyetujui
dan menolak RUU tersebut. Pada 29 Desember 1989, RUU tersebut disetujui
menjadi UU No 7/1989. Muktamar NU 1989 di Pesantren Krapyak DI
Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut. Ini adalah keberhasilan
ketujuh dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Setelah itu, masih terdapat banyak lagi
keberhasilan dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman, seperti UU
Perbankan Syariah, UU Haji, dan UU Wakaf. Selain itu, UU Sistem
Pendidikan Nasional (2003) memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur
pendidikan Indonesia sehingga memberikan peluang lebih luas bagi
pesantren untuk mengembangkan diri. Di dalam masyarakat kini tampak
peningkatan minat masyarakat untuk mengirim siswa ke pesantren dan juga
minat untuk mendirikan pesantren. Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir
10.000 kini mendekati angka 30.000, yang keseluruhannya adalah milik
swasta.
Kondisi mutakhir
Saat ini ada gejala munculnya kembali
konflik antara keindonesiaan dan keislaman. Gejala itu terjadi dalam
kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Ada kelompok yang menganggap
bahwa merekalah yang ”paling Islam” dan sebaliknya juga ada kelompok
yang menganggap bahwa merekalah yang ”paling Indonesia”. Yang memilih
Ahok-Djarot dianggap anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih
Anies-Sandi dianggap anti-Indonesia, intoleran, dan anti-kebhinekaan.
Kedua anggapan itu keliru.
Kalau kita pelajari kembali proses
penyusunan UUD pada 1945, ada keinginan tokoh-tokoh Islam supaya
presiden RI adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam. Setelah
melalui musyawarah, tokoh-tokoh Islam yang menyusun UUD menyetujui bahwa
syarat ”harus beragama Islam” itu dibatalkan. Kesediaan tokoh dan umat
Islam menghapus syarat harus beragama Islam bagi presiden sebenarnya
sudah menunjukkan toleransi mereka.
Akan tetapi, mereka yang tidak memilih
non-Muslim karena alasan keagamaan tidak bisa dianggap sebagai orang
yang tidak toleran atau melanggar UUD atau merusak kebhinekaan. Itu
didasarkan pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945. Yang perlu dijaga ialah cara
menyampaikan pendapat itu, jangan sampai memakai bahasa yang menyinggung
atau mengandung nada kebencian. Juga perlu diperhatikan tempat dan
waktu dalam menyampaikan pendapat tersebut.
Sebenarnya konflik dalam kaitan
pemilihan gubernur DKI Jakarta bukanlah antara umat Islam dan umat
non-Islam. Akan tetapi, justru terjadi antara kelompok dalam umat Islam:
antara yang menyetujui calon non-Muslim dan yang menolak calon
non-Muslim. Perbedaan pandangan itu terjadi karena perbedaan penafsiran
terhadap Surat Al-Maidah Ayat 51 dan sejumlah surat lain.
Di dalam kalangan Islam sejak abad
pertama Hijriah sudah terdapat dua aliran besar dalam menafsirkan
ayat-ayat suci. Aliran pertama berpendapat bahwa syariat Islam bersifat
dogmatis dengan berpegang pada teks nash murni tanpa menggunakan potensi
akal. Tokoh utama aliran ini adalah Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, dan
Amr bin Ash. Aliran kedua berpendapat bahwa syariat itu bersifat
rasional, maka dalam menafsirkan teks suci, kita perlu mengoptimalkan
penggunaan potensi akal. Tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Mas’ud, Umar
bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Menyikapi adanya dua kelompok
seperti di atas, kedua pihak harus saling menghormati pilihan
masing-masing. Tidak perlu saling menyalahkan, saling menyerang, atau
saling mengejek.
Konflik keindonesiaan dan keislaman itu
mungkin meluas pada Pilkada 2018. Kalau pada Pilpres 2019 konflik
semacam itu masih terjadi, hal itu berpotensi mengancam persatuan
Indonesia. Perlu ada upaya untuk meredamnya. Perlu dilakukan dialog
antarkelompok di dalam Islam maupun dengan kalangan agama lain untuk
meredamnya. Dalam dialog itu perlu dibahas dengan rinci apa yang
dimaksud dengan ”politisasi agama”, apa yang dimaksud dengan ”isu SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan)”. Dialog itu harus dilakukan
dengan hati dan kepala dingin supaya dapat menghasilkan kesepakatan yang
bisa diikuti dalam praksis sehari-hari. Memang perlu waktu yang cukup
untuk bisa mendinginkan suasana.
Pertanyaannya: siapa pihak yang akan
memprakarsai dialog itu dan siapa tokoh yang akan mewakili kedua pihak?
Berapa jumlahnya? Kapan saat yang tepat untuk memulai dialog? Di mana
dialog itu diadakan? Pihak yang memprakarsai dialog ialah pihak yang
dapat diterima oleh kedua kelompok. Ramadhan dan Syawal adalah saat yang
tepat untuk mengadakan dialog. Tempatnya harus mendapat persetujuan
kedua kelompok. Gedung MPR dan rumah di Jalan Imam Bonjol tempat para
pendiri merumuskan naskah proklamasi pada Agustus 1945 dapat dijadikan
alternatif tempat dialog diadakan.
Dalam dialog itu harus disampaikan
secara jelas dan terbuka apa saja keinginan kedua kelompok dan apa saja
yang tidak diinginkan oleh kedua kelompok. Sejumlah keberhasilan
memadukan keindonesiaan dan keislaman yang telah menjadi modal berharga
bangsa Indonesia harus menjadi acuan di dalam dialog tersebut. Kelompok
yang seusai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok
mengeluarkan seruan untuk menjaga keindonesiaan perlu memahami bahwa
yang juga perlu dijaga adalah keterpaduan keindonesiaan dan keislaman
karena itu adalah faktor utama persatuan Indonesia.
*Tulisan ini disampaikan KH.
Salahuddin Wahid dalam Pembukaan Seminar Pemikiran Hadratussyaikh KH. M.
Hasyim Asy’ari di Gedung Nusantara V Komplek MPR RI Jakarta pada 06 Mei
2017, dimuat Harian Kompas pada 16 Mei 2017, dan dimuat ulang di media
tebuireng.online untuk kepentingan pendidikan.
No comments:
Post a Comment