Oleh: Hilmi Abedillah
Di bulan Syawal ini, banyak sekali
pasangan kekasih yang melangsungkan pernikahan. Bukannya tanpa alasan,
menikah di bulan Syawal merupakan salah satu anjuran yang didasarkan
pada hadis riwayat ‘Aisyah ra. yang berbunyi:
“Rasulullah SAW menikahiku di bulan
Syawal, dan membangun rumah tangga denganku di bulan Syawal pula. Maka
istri-istri Rasulullah manakah yang lebih beruntung dariku?”
Pernikahan Rasulullah di bulan Syawal
menepis tradisi Arab Jahiliyah yang meyakini bahwa pernikahan di bulan
Syawal akan berujung kesialan. Karena Syawal sendiri berasal dari Syaulanun Nuuq,
habisnya susu unta-unta betina. Unta betina mengangkat ekornya yang
bertanda bahwa ia tidak mau untuk menikah dan enggan dengan unta jantan.
Akibat dari anjuran menikah di bulan
Syawal ini, banyak undangan berdatangan dari kerabat, teman, dan
kenalan. Saking banyaknya, mungkin kita diundang oleh orang yang tidak
terlalu akrab, sekedar tahu namanya saja, atau bahkan banyak tanggal
yang bertabrakan yang membuat kita malas untuk hadir.
Tidak ada khilaf bahwa menyelenggarakan walimatul urs (pesta pernikahan) hukumnya sunnah. Nabi SAW pernah bersabda:
أولم ولو بشاة
“Berwalimahlah walau dengan seekor kambing.”
Sedangkan menghadiri walimatul ‘urs
hukumnya sunnah menurut Hanafiyyah. Sementara menurut Syafiiyyah dan
Hanabilah, hukumnya wajib selama tidak ada kemungkaran.
Ketika menghadiri pernikahan, disunnahkan setelah makan mendoakan shohibut tho’am
atau tuan rumah. Karena Nabi pernah berbuka di rumah Sa’d bin Mu’adz,
lalu Rasul berdoa, “Orang-orang puasa berbuka di rumahmu, para malaikat
mendoakanmu, dan orang-orang baik memakan makananmu.”
Kemungkaran di Walimatul ‘Urs
Apabila yang diundang sudah mengetahui
bahwa di dalam walimatul ‘urs yang akan dihadirinya ada kemungkaran,
maka ia tidak perlu menghadirinya. Rasulullah pernah bersabda, “Akan ada
dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan minuman keras, babi, sutera,
dan mi’zaf (jenis alat musik yang bersenar banyak).”
Namun
apabila ia tidak tahu, dan saat tiba ia baru sadar kalau ada khamr di
tempat hidangan, maka ia tidak boleh duduk. “Rasulullah melarang kita
duduk di tempat yang digunakan minum khamrnya, dan makan sambil
telungkup.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim)
Apabila kemungkaran terdapat di rumah
(tempat tinggal), bukan di tempat hidangan, maka ia harus mencegah
semampunya. Karena tempat hidangan biasanya terletak di luar rumah.
Namun, bila tidak mampu dan ia seorang panutan, maka lebih baik keluar
meninggalkan tempat. Karena itu akan mencela agama dan pintu maksiat
bagi muslimin. Jika ia bukan panutan, maka duduk saja, bersabar,
menikmati makanan dan minuman, dan tidak perlu keluar. Karena menghadiri
undangan hukumnya sunnah.
No comments:
Post a Comment