KPID: Saatnya Dai Pesantren Belajar Tampil ‘Keren’
Tebuireng.online-
Maraknya tayangan atau siaran yang muncul dari berbagai media, terutama
radio dan televisi, memberikan dampak tersendiri kepada seluruh
masyarakat sebagai penikmat media. Dalam hal ini, masyarakat menjadi
salah satu target dalam menerima informasi, memercayai, dan melaksanakan
pesan yang telah disampaikan dalam siaran radio atau televisi tersebut.
Tidak hanya sebagai penikmat, masyarakat harusnya memberikan sumbangsih
untuk memberikan feedback atau timbal balik terhadap apa yang
telah ditontonnya, seperti memberikan masukan berupa kritik dan saran
sehingga mereka tidak hanya menjadi penikmat belaka yang menerima
mentah-mentah isi dari program televisi atau radio tersebut. Begitu pun
dengan pihak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), ia memiliki banyak tugas
dan wewenang dalam menangani dan mengarahkan konten program penyiaran
radio atau televisi di Indonesia agar tetap dalam koridor yang pantas,
wajar dan memberikan manfaat, bukan sebaliknya.
Sebagaimana amanat Undang-Undang 32
tahun 2002 tentang Penyiaran, bahwa kewenangan untuk mengatur dunia
penyiaran baik itu dari aspek perizinan, aspek pengawasan isi siaran,
dan aspek kelembagaannya. Terkait tayangan-tayangan televisi, KPID
mempunyai aturan berupa P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran), sebagai aturan atau kitab suci dalam dunia penyiaran di
Indonesia yang disusun oleh KPI pusat dan berlaku secara nasional untuk
KPI, KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) dan seluruh Lembaga
Penyiaran Indonesia.
Arah Program Televisi Ramadan
Terkait dengan program Ramadan, televisi
maupun radio atau bahkan media cetak pada umumnya akan selalu berusaha
menyajikan sesuatu yang aktual, memiliki proximity (kedekatan)
dengan pemirsa. Pada saat Ramadan, stasiun televisi akan berlomba-lomba
menyajikan program Ramadan, adalah sesuatu yang alami dan wajar. Lembaga
penyiaran atau media massa ingin mendapat perhatian dari pemirsa,
sehingga harus sedekat mungkin dengan kebutuhan pemirsanya. Stasiun
televisi menawarkan beraneka ragam program sesuai dengan tugas
masing-masing lembaga penyiaran tersebut, ada yang muncul dengan model
ceramah, talkshow, komedi, sahur keliling, dan lainnya. Hal itu merupakan kreativitas dari masing-masing TV.
Dalam menentukan program
penyiaran/tayangan TV, KPI/KPID tidak berwenang untuk membatasi. Yang
dilakukan KPI adalah mengawasi apakah itu melanggar P3SPS atau tidak?
Jika terbukti melanggar, maka akan dikenakan sanksi, kalau tidak, akan
tetap jalan terus. Setahun terakhir, KPI pusat dan KPID sudah melakukan monitoring
yang ketat terhadap tes penyiaran khususnya program Ramadan, terutama
program-program komedi yang berlebihan, seperti ada unsur kekerasan baik
fisik maupun verbal. Contoh di-bully dalam siaran tersebut.
Menurut evaluasi KPI, Ramadan tahun 2016
kemarin, ada peningkatan kualitas dari isi siaran program. Memang
modelnya rata-rata masih sama; komedi, sinetron, dialog agama, dan
lain-lain. Akan tetapi dari isi siaran tidak separah tahun-tahun
sebelumnya, karena KPI dan KPID melakukan pengawasan secara ketat
terhadap isi, termasuk adanya teguran keras dari KPI terhadap
pelanggaran penyiaran sehingga ada dampak pada Ramadan tahun 2016
kemarin.
KPI dan Batas Kewenangannya
Dalam sebuah wawancara, ketua KPID
Jatim, Afif Amrullah (Kang Afif)mengungkapkan bahwa KPI/KPID tidak boleh
atau tidak ada payung hukum untuk menentukan kriteria seseorang yang
harus tampil, seperti ustad/dai di acara TV, kecuali memang ada
kronologi dan track record (rekam jejak) yang jelas dari dai. Semisal kasus yang akhir-akhir ini terjadi, dai yang ceramah kemudian diprotes, malah ditayangkan di TV Nasional.
Dalam sebuah wawancara, Kang Afif
mengaku, bahwa kemudian ada teman pengurus ormasnya yang bertanya
tentang tanggapan KPI kepada dai yang dalam ceramahnya sering
menyampaikan suatu hal yang bersifat provokasi atau menjelekkan kelompok
lain, “tapi kok dibiarkan?” Dalam tanggapannya, Ketua KPID Jawa Timur
tersebut mengungkapkan bahwa KPI tidak bisa melarang orang tampil di TV,
yang dilarang adalah isi siarannya yang berpotensi meresahkan
masyarakat. Sekalipun dia adalah mantan narapidana pecandu narkoba.
Sebagai contoh, kasus program TV yang
ditayangkan oleh TV Nasional menyiarkan acara berita Islam, kemudian
presenter pada acara tersebut mengeluarkan statement atau pernyataan; kalau memberi azan pada anak yang baru lahir itu hukumnya bid’ah/sesat,
pernyataan tersebut kemudian diprotes oleh banyak orang, aduannya masuk
ke KPI, dan KPI memberi teguran kepada stasiun TV itu bahwa orang ini
telah mengatakan pernyataan. Jadi, tetap bukan orangnya tapi
pernyataannya, akhirnya diberi sanksi, beberapa hari kemudian sang
presenter tersebut memohon maaf kepada publik melalui TV itu. Lalu
bagaimana? Ya tetap siaran, dengan teguran itu dia menjadi berhati-hati.
Kalau dia di komunitas sendiri, membahas soal khilafah yaa itu haknya, tapi kalau tampil di TV yaa gak boleh,
karena TV adalah ranah publik yang frekuensinya milik publik yang
dititipkan di lembaga penyiaran dalam waktu tertentu. Tentu tidak boleh
sembarangan, harus mengayomi semuanya, tidak boleh membuat keresahan
pada kelompok tertentu apa lagi persoalan yang sensitif, seperti agama.
Idealisme Program Televisi
Prinsipnya bahwa TV adalah industri, mereka harus hidup dari sumber-sumber kegiatan off air.
Maka dari itu, pihak stasiun TV pasti memilih program yang diminati
oleh masyarakat, yang disukai oleh masyarakat, termasuk dalam kriteria
memilih ustad/dai yang mereka tampilkan. Kadang-kadang memang ustad yang
tampil di TV itu kualitasnya masih diragukan, ada istilah ustad artis.
Kenapa mereka yang dipillih? Karena aspek bisnis sepertinya lebih
menonjol bagi lembaga penyiaran tersebut. Misalnya kiai yang ‘alim, wira’i, yang tawadlu’-nya
luar biasa tetapi di depan kamera tidak menarik, mereka tidak akan
memilih beliau sebagai dai, yang dipilih pasti yang memenuhi kebutuhan
dua aspek. Pertama, aspek keagamaannya mumpuni dan kedua, aspek face-nya,
gaya penampilannya, menarik untuk dilihat sehingga pemirsa tertarik
untuk menonton itu. Jadi hal ini bisa jadi bertabrakan dengan lembaga
penyelenggara di penyiaran, memilih penampilan atau kualitas keagamaan.
Sebenarnya kita sebagai komunitas
keagamaan juga perlu introspeksi. Dengan hal yang seperti itu, mestinya
kita punya cara untuk mengubah mindset (cara berpikir) dakwah kita. Sudah saatnya kita menyiapkan generasi-generasi yang mumpuni di bidang itu, yang agamanya oke, berkualitas, dan memiliki penampilan yang menarik serta public speaking-nya bagus.
Itu merupakan tantangan bagi kita,
khususnya civitas di dunia pesantren dan perguruan tinggi agama. Jadi,
kenapa ustad yang sering tampil di TV itu bukan dari kalangan pesantren,
bukan dari kalangan Nahdliyin misalnya, dan lainnya? Karena yang
dibutuhkan TV adalah pengetahuan agama dan penampilan/public speaking.
Selama ini, pesantren hebat dalam hal keagamaan. Tapi untuk bisa tampil
menarik dan meyakinkan di layar kaca atau di depan kamera masih perlu
banyak latihan.
Pemilihan dai yang berorientasi pada
rating oleh lembaga penyiaran sebagai pengisi acara keagamaan adalah
murni hak dari pihak stasiun TV dan selama yang disampaikan itu tidak
melanggar P3SPS, tidak mengakibatkan keresahan di masyarakat akan tetap
jalan terus. Karena bagaimana pun KPI adalah lembaga negara yang
mengayomi seluruhnya. Tidak boleh misalnya saya dari kelompok A kemudian
memaksakan lembaga penyiaran harus orang ini yang dipasang. Tapi bisa
dengan pendekatan personal, misalnya teman-teman komisioner kemudian
mendekati para produser di TV itu agar mengusulkan nama tertentu yang
bagus, bisa saja, tetapi keputusan tetap di mereka. Apabila ketika
disodori nama kemudian mereka merasa bahwa ini menarik dan diprediksi
akan banyak peminatnya yaa bisa saja. Tapi kalau KPI memaksa,
kemudian mereka tidak menginginkannya, tentu sulit terealisasi. Sebab
sikap memaksa (yang bukan wewenang KPI) adalah di luar wilayah
kewenangan dan justru akan menjadi kebijakan yang bersifat
kontraproduktif terhadap KPI maupun terhadap TV.
Peran Masyarakat di Dunia Pertelevisian
Masyarakat diundang untuk kritis
terhadap isi siaran. Kalau memang ada unsur-unsur yang diduga melakukan
pelanggaran, silakan dilaporkan kepada KPI. Satu sisi kami evaluasi diri
dan di sisi lain kami menyayangkan selera masyarakat yang belum ideal
dan sesuai harapan kami. Contoh, rating diukur dari kuantitas masyarakat
yang menonton, dan tayangan sinetron selalu menempati urutan pertama
dalam hal rating. Padahal kita semua tahu, bahwa sinetron memberi dampak
yang kurang baik terhadap masyarakat terutama anak-anak. Karena ada
kata-kata atau adegan yang kurang baik dan hal itu bisa memengaruhi pola
pikir anak.
Akhirnya, kita yang harus bersama-sama
menciptakan penyiaran yang sehat. KPI akan terus melakukan tugasnya
dengan mengawasi dan memberikan pembinaan kepada lembaga penyiaran, juga
memberikan masukan-masukan acara TV yang bagus dan layak untuk
ditayangkan. KPI menghimbau agar masyarakat juga sama-sama
mempertimbangkan dampak sebuah tayangan terhadap psikologi anggota
keluarga. Kalau ada tayangan yang berindikasi merusak psikologi anak,
orangtua harus berkorban untuk menjauhkan, tidak malah mengajak anaknya
menonton.
Dari berbagai kondisi dan pernyataan di
atas, merupakan sebuah keharusan bagi kita bersama untuk lebih serius
dan memiliki kelapangan berpikir. Membantu meringankan tugas KPI sebagai
lembaga yang mengawasi konten program siaran, baik di televisi maupun
di media lainnya. Sama artinya masyarakat menjadi agen pencegah
kerusakan bangsa. Sehingga tidak hanya menjadi penonton, melainkan ikut
berpartisipasi mewujudkan program siaran yang sehat untuk stasiun
televisi Indonesia, yang pengaruh dan manfaatnya akan kembali pada kita
sendiri.
No comments:
Post a Comment