Ini Hukum Kesenian Kuda Lumping
ilustrasi seni kuda lumping |
Pertanyaan:
Assalamualaikum
Wr. Wb., Salam kenal bapak kiai saya Ahmad dari Lampung ingin bertanya
masalah hukum kesenian nusantara khususnya kesenian Jaran Kepang? Karena
di dalam kesenian tersebut terdapat unsur mistik dan sesaji bagaimana
pandangan Islam mengenai hal itu serta mengapa para wali terdahulu tidak
menghilangkan kesenian tersebut jikalau memang haram. Terimakasih pak
yai Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Jawaban:
Waalaikum
salam Wr. Wb., Pak Ahmad yang berbahagia, kuda Lumping juga disebut
Jaran Kepang atau Jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan
sekelompok prajurit tengah menunggang kuda.Tarian ini menggunakan kuda
yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk
kuda.
Beberapa penampilan Kuda Lumping menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.
Ada versi yang menyebutkan, bahwa tari
Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu
oleh Sunan Kalijaga. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini
mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan
Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Juga
ada yang mengatakan ada hubungannya dengan tari Reog Ponorogo, dan Jaran
Kepang dari Kediri dalam cerita Songgo Langit.
Pakar
budaya dan sejarah Nusantara, Agus Sunyoto menyatakan bahwa bahwa
keseniann Kuda Kepang adalah kesenian yang lahir pada masa peralihan
jaman Hindu ke Islam, di mana yang diketahui menggelar kesenian kuda
kepang untuk dakwah yang pertama adalah Sunan Ngudung. Seni sejenis, di
mana kuda kepang
ditambah Reog, Bujangg Anong, Pentul, dan Tembem dikembangkan raja
muslim Bathara Katong.
ditambah Reog, Bujangg Anong, Pentul, dan Tembem dikembangkan raja
muslim Bathara Katong.
Semua kesenian itu untuk mengumpulkan
orang untuk didakwahi agama Islam. Dengan demikian adalah tergesa-gesa
jika dinyatakan bahwa kesenian kuda kepang dianggap seni syirik warisan
agama bukan Islam. Menurut al-faqir, tradisi yang berkembang di
masyarakat seperti jaran kepang, misalnya, selama dalam konteks tidak
membawa kekufuran dan tidak membahayakan dirinya dan orang lain serta
melestarikan budaya dan adat istiadat (yang tidak bertentangan dengan hukum syara’) maka hukumnya diperbolehkan. Adapun
jika ada yang tidak sesuai maka perlu kita edukasi bersama agar
masyarakat dan generasi muda tidak menyalah artikan tradisi. Parawali
terdahulu ketika masuk dalam ranah masyarakat, diterapkan Fiqhud Dakwah,
ajaran Islam diterapkan secara lentur,
sesuai dengan kondisi masyarakat, dan dengan terus mengedukasinya.
Dengan demikian para muballigh dan Wali Songo mengembangkan agama Islam
dengan bertahap (tadrijy).
Dengan
demikian, bagaimana jawaban atas pertanyaan itu? Sebagian fenomena Jaran
kepang diduga adalah bagian dari bentuk sihir. Dengan demikian
hukumnya ditafsil (diperinci) pertama, Jika wasilah untuk menjadikan
orang kesurupan itu hal-hal yang mengandung kekufuran maka hukumnya
kufur. Kedua, Jika jampi-jampinya berupa hal-hal yang haram maka
hukumnya haram. ketiga, Jika tidak maka dilihat pada dampaknya. Jika
Jaran Kepang itu berdampak negatif atau membahayakan (dirinya atau orang
lain) maka hukumnya haram. Jika tidak berbahaya, maka hukumnya boleh.
(al-Fiqh’ala Al-Madzahib al-Arba’ah, 5/460-461)
.قال
الإمام النووي رحمه الله تعالى : عمل السحر حرام وهو من الكبائر بالإجماع
وقد عدهالرسول صلوات الله وسلامه عليه من الموبقات السبع ومن السحر ما يكون
كفرا ومنه مالا يكون كفرا بل معصية كبيرة فإن كان فيه قول أو فعل يقتضي
الكفر فهو كفر وإلا فلا, المالكية رحمهم الله قالوا : الساحر كافر يقتل
بالسحر ولا يستتاب بل يتحتم قتله كالزنديق :قال عياض : وقول مالك قال أحمد
وجماعة من الصحابة والتابعين وذلك فيمن عمل بهللباطل والشر أمامن تعلمه لفك
المسحور ومنع الأذى عنه أو تعلمه للعلم فقط ولم يعمل به فهو جائز وقدسئل
الإمام أحمد عمن يطلق السحر عن المسحور فقال : لا بأس به وهذا هو المعتمد
فحكمالسحر تابع للقصد فمن فصد به الخير جاز له وإلا حرم عليه إلا أن أدى
إلى الشركوإلا كان كافرا ولايقتل الساحر إلا أن يقتل أحدا بسحره ويثبت عليه
بإقراره وأما إذا كان ذميا وأوصلبسحره ضررا لميلم يكون قد نقض العهد ويحل
قتله وإنما لم يقتل النبي صلى الله عليهو سلم لبيد بن الأعصم على سحره وقد
كان ذميا لأنه صلى الله عليه و سلم كان لاينتقم لنفسه ولأنه خشي إذا قتل
لبيد بن الأعصم أن تقوم فتنة بين المسلمين فيالمدينة. لأنه كان من بين زريق
وهم بطن منالأنصار مشهور من الخزرج وكان الناس حديثي بالإسلام.
*Ketua Aswaja Center PCNU Jombang.
No comments:
Post a Comment