Matahari dan Awan Cerah |
Hakikat bertemu adalah untuk berpisah.
Berpisah tak selamanya menjadi simbol akhir sebuah hubungan. Berpisah
tak selamanya lara. Kadang kala berpisah menjadi satu kepastian yang
dapat mengubah sifat seseorang agar lebih dewasa dalam menyikapi
keadaan. Seperti perpisahan yang dialami oleh seorang anak dengan orang
tuanya. Gadis kecil nan lugu ini gemar bercerita pada buku harian. Tiap
sendu dan peluh, Ia wujudkan dengan tulisan. Keseluruhan tulisannya
penuh dengan perasaan. Namanya Ziyadatul Ilmi, yang biasa dipanggil
Ziya. Sudah tiga hari Ia tinggal di pesantren yang jauh dari kota
kelahirannya.
Di bawah terik matahari yang menjulurkan
cahaya hangatnya masuk ke dalam pesantren, wajah Ziya yang berhias
jilbab kuning kepodang terlihat gelisah. Ia tidak sedang menggerutu,
tidak juga membisu. Bertahun-tahun Ia hidup bersama Ayah dan Ibunya
tanpa kekurangan apapun. Tak ayal jika beberapa hari ini Ia menangis
sendu.
Setelah lulus Sekolah Dasar, orang tua
Ziya memutuskan untuk mengirim putri sulungnya ini ke pesantren salaf di
kota Gresik, sebab sudah saatnya Ziya belajar memaknai hidup secara
mandiri. Selain itu, orang tua Ziya juga ingin agar kelak Ziya terbekali
oleh ilmu-ilmu agama. Dengan demikian Ia tak akan terjerumus dalam
kemaksiatan yang kian merajalela. Ziya tak bisa mengelak keputusan orang
tuanya. Ia sadar bahwa ini demi kebaikannya sendiri. Bersandang ridho, maka berangkatlah Ziya ke pesantren ditemani orang tuanya.
“Nak, cepat keluarkan bajumu dari dalam
tas. Ini lemarimu,” pinta Ibu Ziya. Ziya bergegas melaksanakan perintah
Ibunya sembari memandang sebuah kotak berbentuk persegi yang ukurannya
hanya dapat memuat buku dan empat potong baju. Inilah lemari kecil
seadanya untuk para santri baru seperti Ziya. Beberapa menit kemudian
sang Ibu keluar menghampiri suaminya yang sedari tadi menunggu di ruang
tunggu khusus pengunjung lelaki. Sementara Ziya merapikan barang-barang
keperluannya di kamar.
“Bu, apa Ziya sudah selesai
beres-beresnya? Kalau sudah, ayo pulang, Bu! Kasihan anak-anak yang
menunggu kita di rumah,” pinta Ayah Ziya dengan nada merajuk.
“Iyah, Pak. Sebentar lagi kusuruh Ziya keluar untuk segera menemui kita,” Sahut ibu Ziya.
Dari kejauhan terlihat Ziya berjalan
lambat menghampiri orang tuanya. Hati kecil Ziya tak ingin berpisah,
namun Ia juga tak ingin mengecewakan orang tua yang selama dua belas
tahun ini merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ziya pun
berusaha membiaskan perasaan sedih di raut wajahnya agar tak terlihat
merah merona. Ziya mencium lembut tangan orang tuanya sebagai petanda
mereka akan segera meninggalkan Ziya. Sebelum itu Ibu Ziya mengeluarkan
selembar uang dari dompet lalu memberikannya pada Ziya. Ziya tertegun
dan terdiam. Ia ingin menangis saja. Hebatnya Ziya, Ia tak sampai hati
meneteskan air mata di depan orang tuanya. Demikian agar mereka tak
merasa iba dan haru pada Ziya. Sesungguhnya, setiap tetes air mata yang
Ziya tahan bukan karena nominal uang yang diperoleh dari Ibunya. Hanya
saja Ziya tak ingin perpisahan yang sudah pasti meninggalkan rindu pada
orang tuanya ini ditukar dengan uang.
***
Langit semakin gelap. Perlahan bintang
yang bersanding dengan rembulan tak kuasa memancarkan cahaya. Awan hitam
menggumpal. Cuaca mendung. Hujan pun turun mengguyur lapangan
pesantren. Meski begitu, derasnya hujan tak dapat menandingi riuh suara
santri bersenandung imrithi. Warna-warni jilbab berbaris rapi memenuhi
mushala pesantren malam itu. Tak disangka, di sudut mushala paling
depan, Ziya nampak khusyu’ dengan imrithi yang dipegangnya. Sebelum
mengawali hafalan, bibirnya selalu berkecamuk lirih membaca Al-Fatihah
yang dikhususkan pada Nabi SAW, Syaikh Syarifuddin Yahya Al-Imrithi yang
merupakan pengarang nadzmul imrithi, guru, dan juga orang tuanya. Meski
Ziya tak pernah unggul di kelas, hanya satu yang Ia harapkan, Ilman nafi’ah.
Semenjak rasa rindu pada orang tuanya
mengalir deras, Ziya mulai berpikir tegas dan bertekad keras untuk
membahagiakan orang tuanya. Sekalipun setelah beberapa bulan tinggal di
pesantren, Ziya merasa belum ada perkembangan signifikan dalam dirinya.
Terbukti bahwa selama ini belum ada satu pun pelajaran pesantren yang
dapat Ia pahami. Terlebih dalam ilmu nahwu yang merupakan salah satu
ilmu tata bahasa arab sebagai dasar membaca kitab kuning bagi santri
pemula. Di pesantren para santri dituntut menghafal dan memahami 254
nadzam imrithi yang di dalamnya terkandung materi dasar membaca kitab
kuning.
Sejak dulu, Ziya jago dalam menghafal.
Ingatannya sangat kuat. Di tengah padatnya kegiatan pesantren, hanya
dengan waktu enam bulan Ia dapat mengkhatamkan hafalan dari seluruh
nadzam tersebut dengan lancar. Sayang, kelebihan itu terlampau kurang di
hadapan asatidz jika Ziya tetap saja tak mampu memahami nadzam yang
telah dihafalkannya. Hingga pernah sekali, seorang teman sengaja
mencelanya.
“Kalaupun hafal seluruh nadzam sampai ke
akar-akarnya tanpa paham apa maksud yang terkandung, seperti halnya
menanam tumbuhan dan memberi pupuk, tapi jika tak pernah menyiramnya
sama saja bohong. Jika begini terus, kukira kau tak akan dapat memetik
bunga ataupun buahnya, Ziya,” sindir Nisak, teman sekelas sekaligus
teman karib Ziya yang berhasil meraih peringkat tertinggi saat itu.
Bagai belati penghujam ulu hati, ucapan
itu nyaris merentas seluruh harapan dan menyisakan kenistaan. Ziya sudah
tak kepalang tanggung sakit hatinya pada Nisak yang sudah dianggap
seperti saudara sendiri. Bukan motivasi yang Ia dapat dari temannya.
Ziya berusaha lapang dada menerima segala apa yang ada dalam dirinya
sebab Ia tak ingin menaruh dendam dan benci terhadap teman karibnya itu.
Ziya hanya melempar senyum pada Nisak. Demi kenyamanan pesantren, Ia
tak ingin beradu mulut membantah ucapan yang kiranya tak patut
disampaikan.
***
Hari demi hari semangat Ziya semakin
membara seiring dengan terpilihnya Ia menjadi kandidat peserta seleksi
membaca kitab se Kabupaten Gresik. Ziya tak menyangka bahwa pihak
asatidz mempercayakan amanah padanya yang tidak semua santri dapat
mengemban.
“Ziya, kemari!” Ustadz Rosyad selaku wali kelas Ziya memanggilnya di ruang guru.
“Ada apa njenengan memanggil saya, Ustadz?” Tanya Ziya setelah mengetuk pintu dan memasuki ruang guru.
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, duduklah!”
“Iya, Ustadz,”
“Begini, akhir-akhir ini kuperhatikan
kemampuanmu memahami nahwu semakin meningkat. Kalau kau tidak keberatan,
apa kau mau membimbing teman-temanmu yang nilainya masih dibawa
standard?”
“Iya, insya Allah saya akan berusaha membimbing mereka semampu saya, Ustadz,”
“Satu hal yang harus kau tahu. Kurang
lebih dua bulan lagi akan ada seleksi membaca kitab se Kabupaten Gresik.
Peserta yang lolos akan dikirim untuk musabaqoh tingkat provinsi nanti.
Berdasarkan hasil rapat dengan kepala madrasah, kau dan Nisak ditunjuk
untuk menjadi peserta mewakili pesantren ini,” Ustadz Rosyad menambahi.
Keresahan yang dulu pernah Ia
khawatirkan merupakan kesempatan Ziya untuk mencari pengalaman setelah
sekian lama Ia berusaha, belajar, dan bersabar. Tanpa berpikir panjang,
Ziya bersedia menerima keputusan ustadz. Ia tak ingin menolak dengan
alasan apapun meski Ia harus bersaing dengan Nisak yang lebih unggul dan
pandai di kelas. Sebab baginya, menolak sama saja mengecewakan.
Mengecewakan guru juga termasuk mengecewakan orang tuanya. Lantas Ziya
berencana untuk tidak memberitahukan hal ini pada orang tuanya. Ia takut
jikalau nanti keberuntungan tak berpihak padanya dan sudah pasti tak
akan membuat bahagia orang tuanya.
***
Di waktu yang berbeda, Ziya memancarkan
wajah berseri di balik kerudung putih sembari menyongsong hari penuh
percaya diri dan mengutarakan segenap isi hati pada Ilahi. Ia duduk di
hadapan para juri setelah master of ceremony menyebut nama
indahnya dengan tegas dan hati-hati. Dengan mudah, Ziya dapat menjawab
seluruh pertanyaan juri. Sama halnya Nisak. Nilai mereka sebanding,
lebih tinggi dari peserta yang lain. Sehingga keduanya terpilih menjadi
peserta yang akan dikirim untuk musabaqoh tingkat provinsi mewakili
Kabupaten Gresik.
Jantung berdetak lebih kencang
mengiringi harapan yang menyeruak dalam pikiran. Ziya berharap usahanya
membuahkan hasil. Sebab ini merupakan salah satu cara membahagiakan
orang tuanya. Meski tak sebanding dengan apa yang telah Ia dapat dari
orang tuanya, setidaknya ada segelintir bahagia memukau di ujung
harapan.
Satu
minggu lagi Ziya dan Nisak diberangkatkan oleh pihak Departemen Agama
Kabupaten Gresik menuju kota Probolinggo, di mana musabaqah tingkat
provinsi diselenggarakan. Berdasarkan informasi dari panitia, seluruh
peserta akan difasilitasi tempat tinggal di asrama Pesantren Nurul
Qodim. Begitu pula dengan ustadz atau ustadzah pendamping.
Satu minggu ini juga Ziya mempersiapkan
diri dengan mengajak Nisak berdiskusi tentang seluruh materi yang akan
dilombakan. Ia juga menghubungi orang tuanya agar tak berkunjung ke
pesantren untuk menjenguk Ziya sementara ini. Sesuai rencana, tetap saja
Ziya tak menceritakan alasan logis pada orang tuanya agar menjadi
kejutan istimewa untuk mereka. Namun satu hal yang tak pernah lupa Ia
sampaikan pada orang tuanya melalui telpon.
“Bu, Ziya baik-baik saja. Doakan Ziya ya, bu. Doa terbaik Ziya harapkan dari ibu dan ayah,”
***
Musabaqah dimulai. Ziya menjawab dan
menjelaskan beberapa pertanyaan juri secara detail dan sistematis. Semua
juri menyimak penjelasan Ziya dengan seksama. Tak ada satu pun jawaban
Ziya yang diragukan oleh juri. Tentunya hal ini menjadi nilai plus yang dapat dipertimbangkan untuk memasuki final.
Lima belas menit setelah menjelaskan,
Ziya menemui Ustadz Rosyad yang sedari tadi berdiri menyaksikan
penampilan Ziya di sudut ruangan.
“Ustadz, maaf jika penampilan saya dalam menjelaskan pertanyaan juri tadi kurang sempurna,”
“Tidak apa-apa. Sudah bagus, kok. Semoga
hasilnya nanti memuaskan. Kita tunggu saja nanti malam saat pengumuman
peserta masuk final dibacakan,” tutur Ustadz Rosyad.
“Iya, Ustadz,”
Malam yang diidamkan oleh seluruh
peserta datang seperti cerahnya surya yang tak tertutup oleh tabir
mendung. Dengan rasa penasaran, Ziya memperhatikan gulungan kertas yang
sedikit demi sedikit dibuka oleh panitia dan mendengarkan pengumuman
yang dibacakan oleh mereka.
Tiba-tiba tangan Ziya bergetar, terlebih
saat panitia menyebut namanya yang tertera dalam daftar peserta masuk
final. Dari enam peserta yang lolos final, Ziya berada di urutan ketiga.
Ia sangat bahagia. Ia tersenyum tipis namun tetap saja ada senja di
pelupuk mata. Tanpa sengaja, air mata bahagia mengalir mengikuti garis
lengkung pipinya. Dari belakang, Nisak menepuk pundak Ziya dan
mengucapkan selamat.
“Selamat dan semoga berhasil, Ziya.
Maafkan aku yang selalu angkuh dan sering meremehkan kemampuanmu. Aku
sadar, roda kehidupan pasti berputar. Tak selamanya unggul adalah juara.
Begitu pun tak selamanya biasa-biasa saja adalah tak bias,”
“Iya, Nisak. Terima kasih banyak. Tak apa, wajar semua manusia pernah mengalami kekhilafan,”
Tiba-tiba mereka berdua dikagetkan oleh kedatangan Ustadz Rosyad.
“Ziya, bersiap-siaplah! Besok pagi final berlangsung,”
“Iya, Ustadz Rosyad,” sembari menganggukkan kepala.
Terlepas dari persiapan final, seperti
biasa Ziya menuliskan hari-harinya. Ia merangkai huruf demi huruf hingga
menjadi kata dan untaian kalimat indah. Tidak cukup itu, Ziya juga
membayangkan jika nanti Allah menakdirkannya menjadi juara musabaqah
ini, hal pertama yang akan Ia lakukan saat bersua dengan orang tuanya
adalah memanjakan mereka, meluapkan rindu dalam dada, dan berterima
kasih atas kasih sayang yang telah diberikan sehingga detik ini Ziya
dapat mempersembahkan piala sang juara untuk orang tuanya. Semua yang
dibayangkannya, Ia tulis dalam catatan harian. Kegiatan ini terus
berlangsung setiap hari sesaat menjelang tidur malam.
Tiada hari yang dirasa menjemukan bila
ikhlas bersanding dengan ketulusan. Pada pagi yang tak biasa, Ziya
beranjak menuju gedung musabaqah. Final segera dimulai. Peserta akan
dipanggil satu per satu sesuai urutan abjad nama masing-masing. Yang
pasti Ziya berada di urutan terakhir. Sekali lagi, Ziya menambatkan niat
dalam hati bahwa semua ini untuk sedikit membahagiakan orang tuanya.
Betapapun Ziya sangat bahagia untuk
kesekian kalinya. Usahanya membuahkan hasil. Piala sang juara telah
digenggamnya setelah panitia menyebut satu nama dalam penutupan
musabaqah yang tak lain adalah nama Ziya.
Malam semakin tenteram seiring bulan dan
bintang bersinar terang. Memadu kasih di sekitar langit yang kelam.
Dingin pun mulai mencengkeram. Ziya memutuskan segera berwudu dan
memasuki kamar. Tak seperti malam-malam sebelumnya, tiba-tiba Ziya
merasakan kantuk yang dahsyat setelah menulis semua peristiwa hari ini
dalam catatan hariannya. Ia lalu menarik selimut seraya berdoa.
“Bismikallahumma ahyaa wa bismika amuut,”
Lima belas menit kemudian Nisak menyusul
Ziya, memasuki kamar. Pandangan Nisak tertuju pada catatan harian milik
Ziya yang sedang dalam keadaan terbuka. Dalam hati Nisak, ada rasa
ingin membacanya.
Probolinggo, 29 Juni 2016
Ribuan mimpi kuukir dengan kata.
Bagiku, meski tak begitu indah dibaca, yang terpenting usahaku penuh
makna. Tiada waktu yang kurasa indah bila ku tak bisa membahagiakan
mereka, Ayah dan Ibuku. Aku pernah terjerembab dalam diam. Hingga suatu
ketika diamku berbuah lamunan. Lamunan yang mengantarkanku meraih asa
yang terpendam dalam dada. Sejak saat itu, aku mulai membuka mata,
mengumpulkan kembali semangat yang dulu mereda, dan mantap dalam hati
bahwa aku bisa. Hari ini piala sang juara telah kubawa. Aku sudah tak
sabar menunggu hari esok, di mana aku akan meninggalkan kota ini dan
kembali ke pondok. Besok pagi aku harus menelpon Ibu agar lusa segera
sambang ke pondok. Lalu kan kuceritakan semua peristiwa yang
kurahasiakan dari Ayah dan Ibu. Dan kupersembahkan pula piala dan hadiah
uang ini untuk mereka. Meski nominalnya tak seberapa dibanding dengan
apa yang sudah mereka berikan padaku, setidaknya dengan uang ini aku
bisa sedikit meringankan beban mereka. Dan dengan piala ini, kuharap
akan ada bahagia yang terlintas di raut wajah mereka. Hari ini adalah
hari yang melelahkan. Aku sudah tak kuasa menahan kantuk. Aku harus
istirahat sebab dinginnya malam membuat tubuhku seperti tersayat.
***
Sebelum subuh, Nisak bergegas mengemasi
pakaian dan barang bawaannya. Agaknya Ia keheranan melihat Ziya yang
masih tidur dengan pulas. Padahal, biasanya Ziya bangun lebih dulu
daripada Nisak. Anehnya lagi, Ziya tidur dengan posisi yang sama seperti
pada saat Nisak membaca catatan hariannya malam itu.
“Ziya, ayo bangun! Setelah shalat Subuh,
kita harus berkumpul di halaman. Secepatnya pagi ini kita kembali ke
pondok,” seru Nisak sembari menggoyang-goyangkan kaki Ziya agar segera
bangun.
Berkali-kali Nisak mencoba membangunkan
Ziya, namun tetap tak ada respon dari Ziya. Nisak mulai panik. Ia
khawatir sesuatu terjadi pada Ziya. Sesegera mungkin Nisak menemui
Ustadz Rosyad dan menceritakan keadaan Ziya pagi ini. Tanpa basa-basi,
Ustadz Rosyad meminta Nisak untuk mengantarkannya melihat keadaan Ziya.
Ustadz Rosyad mencoba memeriksa denyut
nadi tangan Ziya. Tiada reaksi. Nisak terkejut dan menangis seketika.
Ustadz Rosyad langsung menghubungi panitia, pihak asatidz yang lain dan
terutama orang tua Ziya.
“Mengapa teman sebaik Ziya begitu cepat
meninggalkanku yang baru saja menyadari akan ketulusannya?” ucap Nisak
dengan nada lirih sambil terisak.
“Sebab Allah sangat menyayanginya, Nisak,” sahut Ustadz Rosyad yang tanpa sengaja mendengar ucapan Nisak.
***
Sehari setelah pemakaman Ziya, Nisak
meminta izin pada pihak keamanan pesantren untuk berkunjung ke rumah
orang tua Ziya. Nisak menjelaskan maksud dan tujuannya. Dan pada
akhirnya pihak keamanan dapat memahami penjelasan Nisak. Ia pun
diizinkan.
Sesampai di rumah orang tua Ziya, Nisak
menceritakan semua peristiwa yang dirahasiakan Ziya pada orang tuanya.
Mulai dari terpilihnya Ziya dalam lomba membaca kitab se Kabupaten
Gresik hingga perjuangan Ziya untuk mendapatkan piala dan uang ini demi
membahagiakan orang tuanya. Tak lupa, Nisak juga menyerahkan sebuah
catatan harian pada orang tua Ziya. Catatan harian yang mengungkap
seluruh mimpi dan asa Ziya yang sekian lama terukir dengan kata dan
terpendam dalam dada.
Penulis adalah Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya
No comments:
Post a Comment